Konsep Dasar
Perilaku Sosial
(Persepsi dan
Kognisi Sosial)
Disusun dalam rangka memenuhi tugas
matakuliah Dasar-dasar pemahaman perilaku
yang di bimbing oleh ibu DR. RIFDA
EL FIAH, M.Pd
disusun oleh :
Nama
|
NPM
|
NURUL AINI (1211080082)
JURUSAN
BIMBINGAN KONSELING
FAKULTAS
TARBIYAH IAIN RADEN INTAN LAMPUNG
2012/2013
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Telah dipaparkan bahwa manusia merupakan
makhluk yang berjiwa, dan kenyataan ini kiranya tidak ada yang membantah, dan
kehidupan kejiwaan itu direfleksikan dalam perilaku, aktivitas manusia. Sudah
sejak dari dahulu kala para ahli telah membicarakan masalah ini, antara lain
oleh plato, Aristoteles, sebagai ahli-ahli fikir pada waktu itu yang telah
membicarakan mengenai soal jiwa ini. Kalau manusia mengadakan intropeksi kepada
diri masing-masing, memang dapat dimengerti bahwa dalam dirinya, manusia merasa
senang kalau melihat sesuat yang indah, berpikir kalau menghadapi sesuat
masalah, ingin membeli sesuatu kalau membutuhkan sesuatu barang, semua ini
memberikan gambaran bahwa dalam diri manusia berlangsung kegiatan-kegiatan atau
aktivitas-aktivitas kejiwaan.
Aktivitas kognitif
adalah berkaitan dengan persepsi, ingatan, belajar, perpikir, dan problem
solving (Morgan, dkk., 1984; Woodworth dan Marquis, 1957). Kegiatan atau proses
tersebut sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh organisme, dan
organisme mengadakan respon terhadap stimulus yang mengenainya.[1]
1.2
Rumusan masalah
1.2.1
Apakah pengertian dan faktor dari
persepsi?
1.2.2
Bagaimanakah proses dari persepsi?
1.2.3
Apakah yang dimaksud dengan kognisi
sosial?
1.3
Tujuan
1.3.1
Untuk mengetahui pengertian dan faktor
dari persepsi.
1.3.2
Mengetahui proses terjadinya persepsi
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian persepsi
Persepsi bisa disebut sebagai pandangan seseorang
terhadap sesuatu hal. Didalam persepsi terjadi proses yang didahului oleh
proses pengindraan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus (rangsangan)
oleh individu melalui alat indra atau disebut proses sensoris. Kemudian proses
tersebut akan dilanjutkan menjadi sebuah persepsi. Persepsi akan timbul jika
salah satu dari alat indera atau pengindraan manusia bekerja. Alat indera
tersebut merupakan alat penghubung antara individu dengan dunia luarnya
(Branca, 1964; Woodworth dan Marquis, 1957). Stimulus yang di indera itu
kemudian oleh individu diorganisasikan dan diinterprestasikan sehingga individu
menyadari, mengerti tentang apa yang diindera itu, dan proses ini disebut
persepsi. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa stimulus diterima oleh alat
indera, yaitu yang dimaksud dengan penginderaan, dan melalui proses
penginderaan tersebut stimulus itu menjadi sesuatu yang berarti setelah
diorganisasikan dan diinterprestasikan (Davidoff, 1981).[2]
Persepsi merupakan
proses yang integrated dalam diri individu terhadap stimulus yang diterimanya
(Moskowitz dan Orgel, 1969). Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa persepsi
itu merupakan pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang
diinderanya sehingga merupapkan sesuatu yang berarti, dan merupakan respon yang
intregated dalam diri individu.
Karena itu dalam penginderaan orang akan mengaitkan dengan stimulus, sedangkan
dalam persepsi orang akan mengaitkan dengan objek (Branca, 1964). Dengan
persepsi individu akan menyadari tentang keadaan disekitarnya dan keadaan diri
sendiri (Davidoff, 1981).
Dalam persepsi stimulus
bisa datang dari luar, tetapi juga dapat dari dalam individu itu sendiri. Namun
demikian sebagian besar stimulus datang dari individu yang bersangkutan. Karena
persepsi merupakan aktivitas yang intregeted dalam diri individu, maka apa yang
ada dalam diri individu akan ikut aktif dalam persepsi. Maka dari itu dapat
disimpulkan persepsi timbul karena perasaan, kemampuan berpikir,
pengalaman-pengalaman individu yang tidak sama, maka dalam mempersepsi sesuatu
stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antara individu satu dengan
individu lain. Persepsi itu bersifat individual (Davidoff, 1981; Rogers 1965).
2.1.1 Faktor-faktor yang berperan dalam persepsi
Adapun faktor-faktor yang berperan dalam
persepsi yaitu:
1.
Objek yang dipersepsi
Objek menimbulkan
stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus dapat datang diluar
individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari dalam diri individu
yang bersangkutan yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai
reseptor. Namun sebagian besar stimulus datang dari luar individu.
2.
Alat indera, syaraf, dan pusat susun
syaraf
Alat indera atau reseptor merupakan alat
untuk menerima stimulus. Disamping itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai
alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf,
yaitu otak sebagai pusat kesadaran. Sebagai alat untuk mengadakan respon
diperlukan syaraf motoris.
3.
Peraturan
Untuk menyadari atau untuk mengadakan
persepsi diperlukan adanya perhatian, yaitu merupakan langkah pertama sebagai
suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan
atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu
atau sekumpulan objek.[3]
2.1.2 Proses
terjadinya persepsi
Persepsi terjadi karena suatu objek menimbulkan stimulus (rangsangan)
dan stimulus itu mengenai alat indera manusia atau reseptor. Tetapi, pada suatu
ketika terjadi tekanan antara objek dan stimulus itu akan terjadi secara
bersamaan. Proses stimulus mengenai alat indera merupakan proses kealaman atau
proses fisik. Stimulus yang diterima oleh alat indera akan diteruskan oleh
syaraf sensoris menuju otak (proses fisiologis). Setelah stimulus sampai di
otak, otak akan memproses sehinga individu itu akan sadar apa yang dilihat, apa
yang diraba, dan apa yang didengar (proses psikologis). Proses ini merupakan
proses terahir dari persepsi dan merupakan persepsi sebenarnya.
Tidak semua stimulus akan direspon oleh
organisme atau individu. Respon diberikan oleh individu terhadap stimulus yang
ada persesuaian atau yang menarik perhatian individu. Dengan demikian dapat
dikemukakan bahwa yang dipersepsi oleh individu selain tergantung pada
stimulusnya juga tergantung kepada keadaan individu yang bersangkutan. Stimulus
yang mendapatkan pemilihan dari individu tergantung kepada bermacam-macam
faktor, salah satu faktor adalah perhatian individu, yang merupakan aspek
psikologis individu dalam mengadakan persepsi.[4]
2.1.3 Organisasi
persepsi
Kalau organisme dalam mempersepsi
sesuatu lebih mendahulukan bagiannya daripada keseluruhannya maka disini
berarti bagian merupakan hal yang primer dan keseluruhan adalah hal yang
sekunder, begitu juga sebaliknya. Misalnya dalam seseorang mempersepsi sepeda
motor, ada kemungkinan orang tersebut mempersepsi bagian-bagiannya terlebih
dahulu baru kemudian keseluruhannya. Namun ada pula yang sebaliknya.
Dalam hal ini memang ada 2 teori yang
berbeda satu dengan lain, atau bahkan dapat dikatakan berlawanan dalam hal
persepsi ini, yaitu:
(1)
teori elemen
(2)
teori gestalt
Menurut teori elemen dalam individu mempersepsi
sesuat maka yang dipersepsi mula-mula adalah bagian-bagiannya baru kemudian
keseluruhan atau gestalt merupakan hal yang sekunder. Jadi kalau seseorang
mempersepsi sesuatu maka yang dipersepsi terlebih dahulu adalah
bagian-bagiannya, baru kemudian keseluruhannya. Dalam hal ini dapat dikemukakan
bahwa dalam seseorang mempersepsi sesuat bagian-bagiannya merupakan hal yang
primer, sedangkan keseluruhannya merupakan hal yang sekunder. Sebaliknya
menurut teori gestalt dalam seseorang mempersepsi sesuatu yang primer adalah
keseluruhannya atau gestaltnya, sedangkan bagian-bagiannya adalah sekunder.
Jadi kalau seseorang mempersepsi sesuatu maka yang dipersepsi terlebih dahulu
adalah keseluruhannya atau gestalt-nya, baru kemudian bagian-bagiannya.
Penelitian secara eksperimental yang dilakukan oleh Wertheimer, dkk. Dalam
persepsi sehingga ditemukan beberapa hukum menurut teori gestalt yaitu:
1.
Hukum Pragnanz
2.
Hukum figure-Ground
3.
Hukum kedekatan
4.
Hukum kesamaan (similitary)
5.
Hukum konstinuitas
6.
Hukum kelengkapan atau ketertutupan (closure)
[5]
2.2 Pengertian Kognisi
Kognisi
adalah kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan dari proses
berpikir tentang seseorang atau sesuatu. Proses yang dilakukan adalah
memperoleh pengetahuan dan memanipulasi pengetahuan melalui aktivitas
mengingat, memahami, menilai, menalar, membayangkan dan berbahasa. Kapasitas
atau kemampuan kognisi biasa diartikan sebagai kecerdasan atau inteligensi.
Bidang ilmu yang mempelajari kognisi beragam, diantaranya adlah psikologi,
filsafat komunikasi, neurosains, serta kecerdasan buatan. Kepercayaan atau
pengetahuan seseorang tentang sesuatu dipercaya dapat mempengaruhi sikap mereka
dan pada akhirnya mempengaruhi perilaku atau tindakah mereka terhadap sesuatu.
Merubah pengetahuan seseorang akan sesuaut dipercaya dapat merubah perilaku
mereka.
Istilah
kognisi berasal dari bahasa latin cognoscere yang artinya mengetahui.
Kognisi dapat pula diartikan sebagai pemahaman terhadap pengetahuan atau
kemampuan untuk memperoleh pengetahuan. Istilah ini digunakan oleh filsuf untuk
mencari pemahaman terhadap cara manusia berpikir. Karya Plato dan Aristoteles
telah memuat topik tentang kognisi karena salah satu tujuan filsafat adalah
memahami segala gejala alam melalui pemahaman dari manusia itu sendiri.[6]
Elemen kognisi
·
Konsep adalah salah satu representasi mental.
Konsep adalah kategori mental yang mengelompokkan sejumlah objek, hubungan,
aktifitas, abstrak, atau kualitas yang memiliki kesamaan properti. Contoh:
merah, biru, kuning adalah contoh dari konsep warna; buras cemani, jago adalah
contoh dari konsep ayam.
·
Konsep dasar adalah konsep yang memiliki
jumlah contoh sedang (moderate) dan lebih mudah diperoleh dibandingkan
konsep yang memiliki contoh yang lebih sedikit atau lebih banyak. Contoh:
konsep durian yang lebih sederhana daripada konsep buah karena buah
memiliki jumlah obyek yang lebih banyak dibandingkan dengan durian yang lebih
spesifik; Komik lebih sederhana dibandingkan dengan konsep buku karena
konsep buku lebih abstrak dan luas serta bermacam-macam objeknya dibandingkan
komik.
·
Prototipe adalah contoh yang
merepresentasikan suatu konsep. Pada saat kita harus memutuskan apakah suatu
hal termasuk ke dalam suatu konsep atau tidak, kita cenderung membandingkan hal
tersebut dengan prototipe.
Konsep merupakan
potongan yang membangun pikiran kita, tetapi potongan-potongan tersebut menjadi
tidak berguna bila kita menyimpannya hanya secara mental. Selain menyimpan,
kita juga harus mengembangkan hubungan antar potongan-potongan konsep yang kita
miliki. Salah satunya adalah dengan penggunaan proposisi. Proposisi adalah unit
yang memiliki makna dan tercipta dari berbagai konsep serta menggambarkan ide
yang utuh.
Nantinya
proposisi-proposisi tersebut akan saling terhubung di dalam sebuah jejaring
pengetahuan, asosiasi, keyakinan, dan harapan yang rumit. Jejaring tersebut
disebut dengan skema kognitif, yang berfungsi dalam mental kita sebagai model
dari berbagai aspek di dunia.
Skema kognitif adalah
jejaring mental yang terintegrasi dengan pengetahuan, keyakinan, dan keinginan
mengenai suatu topik atau aspek tertentu dari lingkungan. Contoh: skema tentang
kebudayaan; kebudayaan merupakan hasil pemikiran luhur dari nenek moyang, yang
berisi nilai-nilai hidup, kearifan lokal dan harus dilestarikan.[7]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kita tidak bisa sepenuhnya percaya pada apa yang
kita lihat karena penglihatan berbeda dari dunia faktual dalam pengertian
absolutnya. Apa yang kita lihat mungkin berbeda dari apa yang dilihat dan
diyakini orang lain. Hal inilah yang dinamakan dengan persepsi. Persepsi dipengaruhi
oleh beberapa factor yaitu termasuk
usia, pematangan, lingkungan dan situasi. Latar belakang kebudayaan tetap
merupakan penentu yang berpengaruh dalam persepsi kita terhadap dunia (persepsi
dapat dibentuk, diubah, dan dipengaruhi oleh kebudayaan di mana kita dibesarkan).
Kategorisasi
yang merupakan bagian dari proses kognisi ternyata tak berbeda anta budaya bila
terkait dengan pengalaman seperti warna, ekspresi wajah, dan bentuk-bentuk
geomeetris. Hal ini berarti, proses-proses dasar ini akan sama pada semua orang
namun kategori dapat pula menjadi berbeda ketika individu memiliki latar
belakang pengalaman kultural yang berbeda. Ketika ada perbedaan kultural yang
muncul bukanlah dalam kemampuan kognitif melainkan perbedaan dalam preferensi
(pilihan) untuk menggunakan gaya-gaya kognitif tertentu.
Hubungan inteligensi sebagai bagian dari proses
kognisi memiliki banyak definisi yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya.
Bagaimana sutau budaya mendefinisikan apa yang disebut cerdas barangkali tidak
sama dengan bagaimana budaya lain mendefinisikan inteligensi. Oleh karena itu,
pengukuran inteligensi seharusnya disesuaikan dengan kemungkinan terjadinya
bias budaya.[8]
Walgito,Bimo.2010.Pengantar Psikologi
Umum.Yogyakarta: Andi.
Wirawan,Sarlito,Sarwono.2008.Teori-teori
Psikologi Sosial.Jakarta: rajawali pers
http://kk.mercubuana.ac.id/files/61005-2-357171911404
[1] Bimo
walgito,”pengantar psikologi umum”,(Yogyaakarta:andi,2010), hlm 98
[2] Bimo
walgito,”pengantar psikologi umum”,(Yogyaakarta:andi,2010), hlm 100
[3] Bimo
walgito,”pengantar psikologi umum”,(Yogyaakarta:andi,2010), hlm 101
[4] Bimo
walgito,”pengantar psikologi umum”,(Yogyaakarta:andi,2010), hlm 102
[5] Bimo
walgito,”pengantar psikologi umum”,(Yogyaakarta:andi,2010), hlm 104
[6]
Diunduh dari:http://kk.mercubuana.ac.id/files/61005-2-357171911404.diakses
pada,jum’at 12 April 2013
[7]
Diunduh dari:http://kk.mercubuana.ac.id/files/61005-2-357171911404.diakses
pada,jum’at 12 April 2013
[8] Sarlito
Wirawan Sarwono,”teori-teori psikologi sosial”,(jakarta:rajawali pers,2008),hlm
84